kaum
proletariat membutuhkan sebuah sekolah gratis... sekolah bukan perbudakan dan
mekanisasi...sekolah profesional tidak harus menjadi inkubator monster kecil,yang di
didik membosankan oleh pekerjaan,tanpa ide-ide dan budaya, tanpa semangat dan dengan hanya mata
yang tajam dan tangan yang kuat (Gramsci, 1917).
Objektif
Pandangan kritis terhadap proses
penyelenggaraan pendidikan pada dasarnya tidak pernah terbebas dari
“kepentingan politik”, yang dengannya ia muncul sebagai alat untuk
melanggengkan sistem sosial ekonomi maupun kekuasaan yang ada. Mengapa
demikian? Karena dalam corak, watak, dan kualitasnya, ilmu pengetahuan yang
diajarkan di bangku sekolah dan perkuliahan tidak berkembang secara mandiri
atau acak, tetapi ia menjadi bagian sebab dan akibat gejolak dari
masyarakatnya, termasuk perbedaan kepentingan antar berbagai kelompok sosial.Dengan
demikian ilmu pengetahuan bukan saja mempelajari semua itu, tetapi juga menjadi
bagian dari proses yang dipelajarinya. Sehingga tidak jarang hari ini kita
menemukan bahwa pendidikan tidak lebih dari sebagai sarana untuk mereproduksi
sistem dan struktur sosial yang tidak adil seperti relasi kelas, relasi gender,
relasi rasisme ataupun sistem relasi lainnya.Tulisan ini secara singkat
memberikan pemahaman kritis terhadap modus produksi kapitalis, yaitu tentang bagaimana
Lembaga pendidikan hari ini dijadikan
media untuk mereproduksi sistem sosial yang dominan, dimana lembaga pendidikan
tidak hanya merupakan proses pengajaran atau pelatihan kerja tetapi juga
sebagai pendukung utama bagi kapitalisme global.
Sejarah
Pendidikan Indonesia dan Semangat Nasionalisme: Sebuah Refleksi Singkat
Dalam rangka mengawali
analisa kita terhadap dunia pendidikan di indonesia, maka kita perlu
merefleksikan sejarah cikal-bakal sekolah atau lembaga pendidikan di Indonesia.
Menjelang akhir abad ke-19, pemerintah belanda menyadari bahwa harapan
optimistik periode liberal awal belum terpenuhi. Di jawa terjadi penurunan
kesejahteraan, suatu kenyataan perkembangan ekonomi di wilayah kolonial tidak
dapat membebaskan inisiatif individual sehingga secara sadar pemerintah
kolonial harus melakukan upaya positif untuk mendorong usaha ekonomis penduduk
pribumi. Sejak itulah pemerintah Belanda berupaya memberikan kontribusi positif
bagi tercapainya kesejahteraan penduduk pribumi dengan cara membangun irigasi,
pendidikan, dan kesehatan (baca: politik etis).
Pembangunan irigasi akan
memberikan keuntungan besar bagi perkebunan tebu yang jumlahnya sebanyak populasi
pertanian. Pelayanan kesehatan sebagian berkaitan erat dengan kebutuhan dari
berbagai perusahaan akan tenaga kerja yang secara fisik baik kemudian sepanjang
melebihi pengajaran dasar sekolah desa pendidikan terutama memberikan pelatihan
untuk tenaga administratif (juru tulis) dalam badan-badan pemerintahan
(Wertheim 1999). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pelayanan sosial yang
berasal dari “politik etis” menjadi subjek bagi pengaruh perusahaan-perusahaan
perkebunan berskala besar. Pada periode ini reaksi penduduk pribumi terhadap
rangsangan ekonomi dari barat sama sekali tidak sekedar pasif.Hal ini ditandai
dengan meningkatnya usaha sebagian masyarakat indonesia untuk memperbaiki
status ekonomi mereka, sehingga pada masa itu banyak orang yang melakukan
perngorbanan besar yang layak dilakukan untuk memperoleh pendidikan guna
meningkatkan perbaikan diri dan anak-anaknya. Tetapi dalam kelompok-kelompok
sosial tertentu tumbuh juga anggapan mengenai arti penting kerjasama saling
menguntungkan masalah ekonomi.
Kerjasama ini muncul dalam
berbagai bentuk yang berbeda-beda seperti serikat kerja, koperasi, dan gerakan
politik, misalnya pada waktu itu adalah Sarekat
Islam. Kerjasama dan konsentrasi kekuasaan dalam bidang yang murni ekonomi (serikat
kerja dan koperasi), jika dipandang besar ukuran dan kekuatannya masih jauh
tertinggal yang dicapai oleh barat. Meskipun demikian kerjasama ini menjadi
cikal bakal munculnya semangat nasionalisme. Disini Peran posisi pendidikan
menjadi ganda, selain pendidikan digunakan sebagai media reproduksi tenaga
kerja oleh belanda untuk mengisi suplai tenaga kerja di perusahaan-perusahaan
perkebunan milik belanda dan badan-badan pemerintahaan, ia juga yang
membangkitkan kesadaran perlawanan masyarakat indonesia yang ditandai dengan
berdirinya Budi Utomo dengan semangat nasionalismenya.
Negara,
Pasar dan Pendidikan
Penjelasan diatas merupakan
refleksi sejarah indonesia tentang muculnya pendidikan sekarang kita beralih
pada periode dimana kapitalisme telah berdiri kokoh. Dari pengalaman
negara-negara kapitalis tahap lanjut pendidikan (dalam hal ini pendidikan
tinggi) menjadi arena tarik-menarik antara negara dan pasar. sehingga bentuk
sistem pemerintahan disuatu negara akan menentukan kecenderungan secara eksterim
apakah pendidikan tinggi berada di bawah ketiak negara atau masuk dalam
cengkeraman pasar (Hugroho, 2006). Apabila sebuah negara menganut sistem
ekonomi sentralistik maka pendidikan tinggi cenderung menjadi subordinasi atas
negara dan menjadi salah satu instrumen politik kekuasaan. Negara melakukan
intervensi terhadap kebijakan pendidikan tinggi dengan kompensasi seluruh aspek
pembiayaan ditanggung oleh negara. Sedang dalam sistem ekonomi liberal sektor
pendidikan tinggi akan dipengaruhi secara signifikan oleh mekanisme pasar.
negara tidak banyak memberikan bantuan finansial dan tidak mencampuri kebijakan
pendidikan tinggi namun pembiayaan pendidikan diserahkan oleh pasar. Model
kedua ini ada kecenderungan bahwa biaya pendidikan menjadi mahal sehingga kaum
miskin memerlukan proteksi agar dapat mengaksesnya.
Disisi lain apapun bentuk dari sistem pendidikan
seperti yang dijelaskan diatas, suatu kenyataan bahwa organisasi dunia seperti
WTO dan Bank Dunia memperlakukan pendidikan seperti yang mereka lakukan pada industri dan semakin mendesak (dengan hak
kekayaan intelektual ataucara lain) bahwa kebijakan pendidikan
harus didefinisikan di tingkat nasional dan internasional (World Bank, 1994; Jarzabkowski, 2002). Globalisasi dan liberalisasi
pasar berfungsi untuk menggantikan konsep pendidikan sebagai penyediaan kebutuhan
dasar sosial dan hak asasi manusia sehingga pendidikan hanya dilihat sebagai komoditi (meskipun satu ideologi penting) di
pasar. Semakin, struktur pendidikan telah dibongkar dan diganti dengan kebijakan dan
prosedur baru yang bertujuan untuk restrukturisasi pendidikan yang
mengikuti tren global menujuk orporatisasi dan untuk menciptakan sektor "pasarresponsif". Akibatnya, pelayanan pendidikan
berkualitas tinggi menjadi bermasalah, dengan beban penyesuaian bergeser dari negara
ke individu dalam bentuk biaya kuliah meningkat dan jasa menurun.
Proses ini juga melibatkan replikasi hubungan produksi
kapitalis dalam pendidikan.Produktivitas pekerja diukur dalam
hal distribusi nilai. Siswa dipandang sebagai "klien" dan mereka adalah "produk" ketika mereka lulus dan mencari pekerjaan. Ukuran kuantitatif secara universal diadopsi
untuk menentukan keberhasilan relatif dari institusi pendidikan. Meminjam istilah
Barrett (2006) seluruh sistem perguruan tinggi dan universitas adalah “edupreneur” yang memiliki arti seorang ahli yang memiliki semangat tinggi dan
terampil dalam seni "menjual" disiplin ilmu yang mereka dapatkan dan
mengamankan dana dari beragam sumber, terutama pada sektor swasta.
Kapitalisme dan Pendidikan
Persoalan kapitalisme bukan
sekedar justifikasi terhadap individu-individu dalam sebuah masyarakat, akan
tetapi persoalan kapitalisme adalah persoalan “the power of system” yang bekerja dalam sebuah institusi-institusi
masyarakat, mengapa demikian? karena definisi dari masyarakat bukan penjumlahan
dari individu-individu didalamnya, masyarakat memiliki pengertian tersendiri
meskipun didalam sebuah masyarakat terdapat individu-individu, tetapi bukan berarti penjumlahan atas
individu-individu tersebut melainkan “sistem” yang mempengaruhi cara
individu-individu itu berelasi satu sama lain. Dengan demikian kita dapat
mengerti bahwa persoalan sistem yang bekerja dalam sebuah masyarakat akan
sangat bergantung pada kekuatan apa yang menjadi dasar pijakan dari sistem
tersebut.
Kapitalisme menjadi kata
kunci yang sangat berarti disini ketika kita pahami bahwa kapitalisme merupakan
sebuah sistem sosial yang paling dominan diantara yang lainnya. Artinya
kapitalisme merupakan salah satu dari sistem sosial yang pernah ada. Kenapa ia
yang paling dominan? Tentu kita harus melihat sejarah panjang yang dimulai dari
abad ke-XIV hingga hari ini (baca: sejarah kapitalisme). Namun dalam tulisan
ini saya tidak akan menjelaskan tentang sejarah perkembangan kapitalisme tetapi
lebih kepada logika kapitalisme itu bekerja. Kapital adalah sebuah proses yang
memiliki kecenderungan memvalorisasi dirinya melalui sebuah sirkuit kapital,
artinya bahwa sesuatu komoditi yang bersifat materil maupun materil bisa
dikatakan sebagai kapital ketika ia dimasukkan dalam sirkuit kapital untuk profit making. Karakter dari profit making ini memiliki kecendrungan
tak berhingga sehingga inilah yang kita sebut dengan akumulasi yang tak
berbatas. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa kapitalisme adalah sistem
ekonomi dan sosial yang memiliki dua karakter, pertama: motif profit dan kedua:
adalah kontrol terhadap sarana produksi distribusi dan pertukaran oleh
kepemilikan pribadi.
Kedua karakter ini menjadi
penting untuk melihat bagaimana logika kapitalisme itu bekerja menmbentuk
lingkaran spiral yang semakin membesar dan tak terbatas. Hal ini memberikan
implikasi yang bersar terhadap relasi sosial dalam sebuah masyarakat. Relasi
yang terbentuk adalah relasi sosial berdasarkan logika ekonomi pasar. penting
untuk kita pahami bahwa relasi sosial yang kapitalis ini bukanlah sesuatu yang
alamiah terbentuk seperti yang dikatakan adam smith (baca: Adam Smith)
melainkan ia terbentuk secara historis. Karena ada masa dimana relasi sosial
itu tidak sepenuhnya pasar.
Syarat dari produksi
kapitalisme agar tetap berlangsung adalah adanya persediaan cadangan tenaga
kerja yang terampil dan berpendidikan, sehingga disini tampak seperti hukum
alam ketika disatu sisi pendidikan mencetak buruh terampil dan dengan
sendirinya mereka bebas mencari industri yang membutuhkan tenaga dan
keterampilan mereka. Lembaga pendidikandianggapsebagaimesinpencetak tenaga
kerja terampil yang dengan nya siswa diberikan pelatihan
dalamketerampilan-keterampilankhusus yang diperlukanuntukpekerjaanyang
dibutuhkandi pasar global. Siswa didorong
untuk memilih program kejuruan yang relevan, studi seperti manajemen keuangan,
studi komputer dan administrasi bisnis atau ketrampilan teknis seperti mungkin
diperlukan dalam rekayasa teknik. Jika sosiologi dan psikologi yang disertakan,
mereka diarahkan untuk menemukan tempat yang mereka sukai dalam strategi
pemasaran dan teknik manajemen, jika perkembangan bahasa dipandang layak, itu
adalah dalam bentuk komunikasi perusahaan dan penulisan laporan teknis, bukan
sastra yang mengandung pesan-pesan moral.
Ekspansi sistem
kapitalisme kedalam dunia pendidikan telah menciptakan sebuah kondisi
kesalingberhubungan antara logika pendidikan dengan logika kapitalisme.
Pendidikan kemudian menampakkan dirinya sebagai mesin kapitalisme, mesin dimana
ia bekerja menciptakan citra-citra baik itu lembaga, individu dan pengetahuan
dimana ia bisa dijadikan sebagai ladang untuk mencari keuntungan (Yasraf, 2004).
Pendidikan yang seharusnya dibangun dengan nilai-nilai objektivitas, keilmiahan
dan kebijaksanaan kini dimuati oleh nilai-nilai komersil, sebagai refleksi dari
keberpihakan pada kekuasaan kapital. Sehingga memungkinkan terciptanya sebuah
relasi baru pengetahuan, yang tidak saja relasi kekuasaan atau pengetauan
tetapi juga relasi sosial yang transaksional terhadap pengetahuan.
Penutup
Pendidikan
tidak pernah berdiri bebas tanpa berkaitan secara dialektis dengan lingkungan
dan sistim sosial dimana pendidikan diselenggarakan. Oleh karena itu, proses
pendidikan sebagai merupakan proses pembebasan yang tidak pernah terlepas dari
sistem dan struktur sosial, yakni konteks sosial yang menjadi penyebab atau
yang menyumbangkan proses dehumanisasi dan keterasingan pada waktu pendidikan
diselenggarakan. Era Globalisasi Kapitalisme seperti saat ini, pendidikan
dihadapkan pada tantangan bagaimana mengkaitkan konteks dan analisis isinya
untuk memahami globalisasi secara kritis.
Dalam perspektif kritis, tugas
pendidikan adalah melakukan refleksi kritis, terhadap sistem dan ‘ ideologi
yang dominan’ yang tengah berlaku dimasyarakat, serta menantang sistem tersebut
untuk memikirkan sistem alternatif kearah transformasi sosial menuju suatu
masyarakat yang adil. Tugas ini dimanifestasikan dalam bentuk kemampuan
menciptakan ruang agar muncul sikap kritis terhadap sistem dan sruktur ketidak
adilan sosial, serta melakukan dekonstruksi terhadap diskursus yang dominan dan
tidak adil menuju sistem sosial yang lebih adil. Pendidikan tidak mungkin dan
tidak bisa netral, obyektif maupun “detachmen” dari kondisi masyarakat.
Daftar Pustaka
Amir
Piliang Y, Dunia Yang Dilipat, Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan,
Yogyakarta: Jalasutra, 2004.
Harvey. David,
Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis, Yogyakarta: Resist Book,2009
Meaghan,
Barrett, Postsecondary and the Ideologi
of Capitalist Production, Canada: The
Innovation Journal,2006.
Niel. Robert V,
Munculnya Elit Modern Indonesia, Jakarta: Pustaka Jaya, 2009.
Santoso.
Listiyono, Sunarto, Epistemologi Kiri, Yogyakarta: Ar-ruzz, 2003.