Halaman

STATUS HARI INI

" S E L A M A T - D A T A N G - D I - B L O G - I N I - S E M O G A - B E R M A N F A A T - U N T U K - M E R E B U T - K E M B A L I - K E M E R D E K A A N - Y A N G - T E R T U N D A "

Sabtu, 03 November 2012

Pertalian Kapitalisme dan Pendidikan


kaum proletariat membutuhkan sebuah sekolah gratis... sekolah bukan perbudakan dan mekanisasi...sekolah profesional tidak harus menjadi inkubator monster kecil,yang di didik membosankan  oleh pekerjaan,tanpa ide-ide dan budaya, tanpa semangat dan dengan hanya mata yang tajam dan tangan yang kuat (Gramsci, 1917).


Objektif
Pandangan kritis terhadap proses penyelenggaraan pendidikan pada dasarnya tidak pernah terbebas dari “kepentingan  politik”,  yang dengannya ia muncul sebagai alat untuk melanggengkan sistem sosial ekonomi maupun kekuasaan yang ada. Mengapa demikian? Karena dalam corak, watak, dan kualitasnya, ilmu pengetahuan yang diajarkan di bangku sekolah dan perkuliahan tidak berkembang secara mandiri atau acak, tetapi ia menjadi bagian sebab dan akibat gejolak dari masyarakatnya, termasuk perbedaan kepentingan antar berbagai kelompok sosial.Dengan demikian ilmu pengetahuan bukan saja mempelajari semua itu, tetapi juga menjadi bagian dari proses yang dipelajarinya. Sehingga tidak jarang hari ini kita menemukan bahwa pendidikan tidak lebih dari sebagai sarana untuk mereproduksi sistem dan struktur sosial yang tidak adil seperti relasi kelas, relasi gender, relasi rasisme ataupun sistem relasi lainnya.Tulisan ini secara singkat memberikan pemahaman kritis terhadap modus produksi kapitalis, yaitu tentang bagaimana Lembaga pendidikan hari  ini dijadikan media untuk mereproduksi sistem sosial yang dominan, dimana lembaga pendidikan tidak hanya merupakan proses pengajaran atau pelatihan kerja tetapi juga sebagai pendukung utama bagi kapitalisme global.

Sejarah Pendidikan Indonesia dan Semangat Nasionalisme: Sebuah Refleksi Singkat
Dalam rangka mengawali analisa kita terhadap dunia pendidikan di indonesia, maka kita perlu merefleksikan sejarah cikal-bakal sekolah atau lembaga pendidikan di Indonesia. Menjelang akhir abad ke-19, pemerintah belanda menyadari bahwa harapan optimistik periode liberal awal belum terpenuhi. Di jawa terjadi penurunan kesejahteraan, suatu kenyataan perkembangan ekonomi di wilayah kolonial tidak dapat membebaskan inisiatif individual sehingga secara sadar pemerintah kolonial harus melakukan upaya positif untuk mendorong usaha ekonomis penduduk pribumi. Sejak itulah pemerintah Belanda berupaya memberikan kontribusi positif bagi tercapainya kesejahteraan penduduk pribumi dengan cara membangun irigasi, pendidikan, dan kesehatan (baca: politik etis).
Pembangunan irigasi akan memberikan keuntungan besar bagi perkebunan tebu yang jumlahnya sebanyak populasi pertanian. Pelayanan kesehatan sebagian berkaitan erat dengan kebutuhan dari berbagai perusahaan akan tenaga kerja yang secara fisik baik kemudian sepanjang melebihi pengajaran dasar sekolah desa pendidikan terutama memberikan pelatihan untuk tenaga administratif (juru tulis) dalam badan-badan pemerintahan (Wertheim 1999). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pelayanan sosial yang berasal dari “politik etis” menjadi subjek bagi pengaruh perusahaan-perusahaan perkebunan berskala besar. Pada periode ini reaksi penduduk pribumi terhadap rangsangan ekonomi dari barat sama sekali tidak sekedar pasif.Hal ini ditandai dengan meningkatnya usaha sebagian masyarakat indonesia untuk memperbaiki status ekonomi mereka, sehingga pada masa itu banyak orang yang melakukan perngorbanan besar yang layak dilakukan untuk memperoleh pendidikan guna meningkatkan perbaikan diri dan anak-anaknya. Tetapi dalam kelompok-kelompok sosial tertentu tumbuh juga anggapan mengenai arti penting kerjasama saling menguntungkan masalah ekonomi.
Kerjasama ini muncul dalam berbagai bentuk yang berbeda-beda seperti serikat kerja, koperasi, dan gerakan politik, misalnya pada waktu itu adalah Sarekat Islam. Kerjasama dan konsentrasi kekuasaan dalam bidang yang murni ekonomi (serikat kerja dan koperasi), jika dipandang besar ukuran dan kekuatannya masih jauh tertinggal yang dicapai oleh barat. Meskipun demikian kerjasama ini menjadi cikal bakal munculnya semangat nasionalisme. Disini Peran posisi pendidikan menjadi ganda, selain pendidikan digunakan sebagai media reproduksi tenaga kerja oleh belanda untuk mengisi suplai tenaga kerja di perusahaan-perusahaan perkebunan milik belanda dan badan-badan pemerintahaan, ia juga yang membangkitkan kesadaran perlawanan masyarakat indonesia yang ditandai dengan berdirinya Budi Utomo dengan semangat nasionalismenya.

Negara, Pasar dan Pendidikan
Penjelasan diatas merupakan refleksi sejarah indonesia tentang muculnya pendidikan sekarang kita beralih pada periode dimana kapitalisme telah berdiri kokoh. Dari pengalaman negara-negara kapitalis tahap lanjut pendidikan (dalam hal ini pendidikan tinggi) menjadi arena tarik-menarik antara negara dan pasar. sehingga bentuk sistem pemerintahan disuatu negara akan menentukan kecenderungan secara eksterim apakah pendidikan tinggi berada di bawah ketiak negara atau masuk dalam cengkeraman pasar (Hugroho, 2006). Apabila sebuah negara menganut sistem ekonomi sentralistik maka pendidikan tinggi cenderung menjadi subordinasi atas negara dan menjadi salah satu instrumen politik kekuasaan. Negara melakukan intervensi terhadap kebijakan pendidikan tinggi dengan kompensasi seluruh aspek pembiayaan ditanggung oleh negara. Sedang dalam sistem ekonomi liberal sektor pendidikan tinggi akan dipengaruhi secara signifikan oleh mekanisme pasar. negara tidak banyak memberikan bantuan finansial dan tidak mencampuri kebijakan pendidikan tinggi namun pembiayaan pendidikan diserahkan oleh pasar. Model kedua ini ada kecenderungan bahwa biaya pendidikan menjadi mahal sehingga kaum miskin memerlukan proteksi agar dapat mengaksesnya.
Disisi lain apapun bentuk dari sistem pendidikan seperti yang dijelaskan diatas, suatu kenyataan bahwa organisasi dunia seperti WTO dan Bank Dunia memperlakukan pendidikan seperti yang mereka lakukan pada industri dan semakin mendesak (dengan hak kekayaan intelektual ataucara lain) bahwa kebijakan pendidikan harus didefinisikan di tingkat nasional dan internasional (World Bank, 1994; Jarzabkowski, 2002). Globalisasi dan liberalisasi pasar berfungsi untuk menggantikan konsep pendidikan sebagai penyediaan kebutuhan dasar sosial dan hak asasi manusia sehingga pendidikan hanya dilihat sebagai komoditi (meskipun satu ideologi penting) di pasar. Semakin, struktur pendidikan telah dibongkar dan diganti dengan kebijakan dan prosedur baru yang bertujuan untuk restrukturisasi pendidikan yang mengikuti tren global menujuk orporatisasi dan untuk menciptakan sektor "pasarresponsif". Akibatnya, pelayanan pendidikan berkualitas tinggi menjadi bermasalah, dengan beban penyesuaian bergeser dari negara ke individu dalam bentuk biaya kuliah meningkat dan jasa menurun.

Proses ini juga melibatkan replikasi hubungan produksi kapitalis dalam pendidikan.Produktivitas pekerja diukur dalam hal distribusi nilai. Siswa dipandang sebagai "klien" dan mereka adalah "produk" ketika mereka lulus dan mencari pekerjaan. Ukuran kuantitatif secara universal diadopsi untuk menentukan keberhasilan relatif dari institusi pendidikan. Meminjam istilah Barrett (2006) seluruh sistem perguruan tinggi dan universitas adalah “edupreneur yang memiliki arti seorang ahli yang memiliki semangat tinggi dan terampil dalam seni "menjual" disiplin ilmu yang mereka dapatkan dan mengamankan dana dari beragam sumber, terutama pada sektor swasta.

Kapitalisme dan Pendidikan
Persoalan kapitalisme bukan sekedar justifikasi terhadap individu-individu dalam sebuah masyarakat, akan tetapi persoalan kapitalisme adalah persoalan “the power of system” yang bekerja dalam sebuah institusi-institusi masyarakat, mengapa demikian? karena definisi dari masyarakat bukan penjumlahan dari individu-individu didalamnya, masyarakat memiliki pengertian tersendiri meskipun didalam sebuah masyarakat terdapat individu-individu, tetapi  bukan berarti penjumlahan atas individu-individu tersebut melainkan “sistem” yang mempengaruhi cara individu-individu itu berelasi satu sama lain. Dengan demikian kita dapat mengerti bahwa persoalan sistem yang bekerja dalam sebuah masyarakat akan sangat bergantung pada kekuatan apa yang menjadi dasar pijakan dari sistem tersebut.
Kapitalisme menjadi kata kunci yang sangat berarti disini ketika kita pahami bahwa kapitalisme merupakan sebuah sistem sosial yang paling dominan diantara yang lainnya. Artinya kapitalisme merupakan salah satu dari sistem sosial yang pernah ada. Kenapa ia yang paling dominan? Tentu kita harus melihat sejarah panjang yang dimulai dari abad ke-XIV hingga hari ini (baca: sejarah kapitalisme). Namun dalam tulisan ini saya tidak akan menjelaskan tentang sejarah perkembangan kapitalisme tetapi lebih kepada logika kapitalisme itu bekerja. Kapital adalah sebuah proses yang memiliki kecenderungan memvalorisasi dirinya melalui sebuah sirkuit kapital, artinya bahwa sesuatu komoditi yang bersifat materil maupun materil bisa dikatakan sebagai kapital ketika ia dimasukkan dalam sirkuit kapital untuk profit making. Karakter dari profit making ini memiliki kecendrungan tak berhingga sehingga inilah yang kita sebut dengan akumulasi yang tak berbatas. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa kapitalisme adalah sistem ekonomi dan sosial yang memiliki dua karakter, pertama: motif profit dan kedua: adalah kontrol terhadap sarana produksi distribusi dan pertukaran oleh kepemilikan pribadi.
Kedua karakter ini menjadi penting untuk melihat bagaimana logika kapitalisme itu bekerja menmbentuk lingkaran spiral yang semakin membesar dan tak terbatas. Hal ini memberikan implikasi yang bersar terhadap relasi sosial dalam sebuah masyarakat. Relasi yang terbentuk adalah relasi sosial berdasarkan logika ekonomi pasar. penting untuk kita pahami bahwa relasi sosial yang kapitalis ini bukanlah sesuatu yang alamiah terbentuk seperti yang dikatakan adam smith (baca: Adam Smith) melainkan ia terbentuk secara historis. Karena ada masa dimana relasi sosial itu tidak sepenuhnya pasar.
Syarat dari produksi kapitalisme agar tetap berlangsung adalah adanya persediaan cadangan tenaga kerja yang terampil dan berpendidikan, sehingga disini tampak seperti hukum alam ketika disatu sisi pendidikan mencetak buruh terampil dan dengan sendirinya mereka bebas mencari industri yang membutuhkan tenaga dan keterampilan mereka. Lembaga pendidikandianggapsebagaimesinpencetak tenaga kerja terampil yang dengan nya siswa diberikan pelatihan dalamketerampilan-keterampilankhusus yang diperlukanuntukpekerjaanyang dibutuhkandi pasar global. Siswa didorong untuk memilih program kejuruan yang relevan, studi seperti manajemen keuangan, studi komputer dan administrasi bisnis atau ketrampilan teknis seperti mungkin diperlukan dalam rekayasa teknik. Jika sosiologi dan psikologi yang disertakan, mereka diarahkan untuk menemukan tempat yang mereka sukai dalam strategi pemasaran dan teknik manajemen, jika perkembangan bahasa dipandang layak, itu adalah dalam bentuk komunikasi perusahaan dan penulisan laporan teknis, bukan sastra yang mengandung pesan-pesan moral.
Ekspansi sistem kapitalisme kedalam dunia pendidikan telah menciptakan sebuah kondisi kesalingberhubungan antara logika pendidikan dengan logika kapitalisme. Pendidikan kemudian menampakkan dirinya sebagai mesin kapitalisme, mesin dimana ia bekerja menciptakan citra-citra baik itu lembaga, individu dan pengetahuan dimana ia bisa dijadikan sebagai ladang untuk mencari keuntungan (Yasraf, 2004). Pendidikan yang seharusnya dibangun dengan nilai-nilai objektivitas, keilmiahan dan kebijaksanaan kini dimuati oleh nilai-nilai komersil, sebagai refleksi dari keberpihakan pada kekuasaan kapital. Sehingga memungkinkan terciptanya sebuah relasi baru pengetahuan, yang tidak saja relasi kekuasaan atau pengetauan tetapi juga relasi sosial yang transaksional terhadap pengetahuan.

Penutup
Pendidikan tidak pernah berdiri bebas tanpa berkaitan secara dialektis dengan lingkungan dan sistim sosial dimana pendidikan diselenggarakan. Oleh karena itu, proses pendidikan sebagai merupakan proses pembebasan yang tidak pernah terlepas dari sistem dan struktur sosial, yakni konteks sosial yang menjadi penyebab atau yang menyumbangkan proses dehumanisasi dan keterasingan pada waktu pendidikan diselenggarakan. Era Globalisasi Kapitalisme seperti saat ini, pendidikan dihadapkan pada tantangan bagaimana mengkaitkan konteks dan analisis isinya untuk memahami globalisasi secara kritis.
Dalam perspektif kritis, tugas pendidikan adalah melakukan refleksi kritis, terhadap sistem dan ‘ ideologi yang dominan’ yang tengah berlaku dimasyarakat, serta menantang sistem tersebut untuk memikirkan sistem alternatif kearah transformasi sosial menuju suatu masyarakat yang adil. Tugas ini dimanifestasikan dalam bentuk kemampuan menciptakan ruang agar muncul sikap kritis terhadap sistem dan sruktur ketidak adilan sosial, serta melakukan dekonstruksi terhadap diskursus yang dominan dan tidak adil menuju sistem sosial yang lebih adil. Pendidikan tidak mungkin dan tidak bisa netral, obyektif maupun “detachmen” dari kondisi masyarakat.

Daftar Pustaka
Amir Piliang Y, Dunia Yang Dilipat, Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan, Yogyakarta: Jalasutra, 2004.
Harvey. David, Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis, Yogyakarta: Resist Book,2009
Meaghan, Barrett, Postsecondary and the Ideologi of Capitalist Production, Canada: The Innovation Journal,2006.
Niel. Robert V, Munculnya Elit Modern Indonesia, Jakarta: Pustaka Jaya, 2009.
Santoso. Listiyono, Sunarto, Epistemologi Kiri, Yogyakarta: Ar-ruzz, 2003.
Wertheim, Masyarakat Indonesia Dalam  Transisi, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999.

Rabu, 03 Agustus 2011

KOMODIFIKASI PENDIDIKAN

Pengetahuan dalam bentuk komoditi…….menjadi tiang utama dalam persaingan kekuasan dunia”
 (Jean F.Lyotard)
   
Wacana tentang penolakan kapitalisme pendidikan kerap kali muncul di permukaan publik, wacana ini merupakan kritik social terhadap dunia pendidikan, terutama di Indonesia yang system pendidikannya sering dijadikan ajang pencarian keuntungan atau “pengkapitalisasian pendidikan”. Hal ini dapat kita lihat dari banyaknya kasus tentang  anak yang putus sekolah dengan alasan orang tua-nya tidak dapat membayar biaya pendidikan yang terlalu mahal. Padahal dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 31 menyatakan bahwa mendapatkan pendidikan adalah hak bagi setiap warga Negara. maka wajar saja jika wacana tentang kapitalisme pendidikan ini tidak pernah basi untuk diwacanakan di ruang publik, sampai akhirnya hak warga Negara tentang pendidikan diberikan oleh Negara. Dalam hal ini Negaralah yang memiliki kewajiban untuk memberikan hak pendidikan kepada setiap warga negaranya.

Dunia pendidikan yang semestinya dibangun berdasarkan nilai-nilai objektivitas, keilmiahan dan kebijaksanaan kini kerap dimuati oleh nilai-nilai komersial. Hal ini dapat dijadikan sebuah refleksi dari keberpihakan dunia pendidikan pada kekuasaan kapital. Sehingga ketika pendidikan menjadi bagian dari kapitalisme, maka berbagai paradigma, metode dan teknik-teknik yang dikembangkan didalamnya menjadi sebuah cara untuk memperkuat hegemoni kapitalisme. Dengan demikian pengetahuan tidak saja menjadi sebuah alat untuk mencari keuntungan akan tetapi juga di produksi sebagai komoditi untuk diperdagangkan dalam rangka memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.

Pengetahuan dalam dunia pendidikan yang dijadikan komoditi ini berkembang sejak ditandatanganinya kesepakatan GATT yang menyatakan bahwa dunia secara global harus memihak pada kepentingan pasar. Hal iu dilakukan demi membuka peluang bagi Trans National Corporation (TNCs) untuk ekspansi, salah satu usaha strategis mereka adalah mempengaruhi Negara-negara berkembang untuk melicinkan “jalan” bagi TNCs untuk beroperasi. Mekanisme dan proses globalisasi ini diperjuangkan melalui actor utama globalisasi yakni bank dunia / IMF melalui kesepakatan WTO yang sesungguhnya dilandaskan pada suatu ideology libelarisme. Paham inilah yang menurut Mansour Fakih berusaha untuk membatasi peran pemerintah dan lebih memberikan kesempatan bagi perusahaan-perusahaan swasta untuk menjadi actor dalam bidang ekonomi dibawah situasi persaingan bebas yang diciptakan oleh gagasan “Pasar Bebas”. Akibat dari pendirian pasar bebas inilah berpengaruh pada visi pendidikan yang memaksakan komodifikasi pendidikan terjadi Komodifikasi pendidikan tersebut di tandakan oleh Darmaningtyas dalam sebuah kasus bahwa setiap tahun -nya siswa yang mengenyam pendidikan dari SD sampai SMTK rata-rata 37 juta siswa, ini merupakan peluang pasar bagi perusahaan-perusahaan swasta seperti penerbit buku pelajaran, alat-alat tulis, seragam sekolah dan lain sebagainya. Sehingga lembaga pendidikan dan perusahaan-perusahaan tersebut bekerja sama untuk berbisnis kebutuhan-kebutuhan siswa tersebut, perbisnisan ini merupakan salah satu penyebab kenapa pendidikan kita mahal dan merupakan salah satu bentuk dari komodifikasi pendidikan.

Selanjutnya jika kita perhatikan dari beberapa institusi-institusi perguruan tinggi negri di Indonesia, setiap pergantian tahun ajaran baru institusi-institusi pendidikan tersebut dihadapkan dengan proyek besar yang dapat menghasilkan keuntungan yang berlimpah. Keinginan calon mahasiswa yang akan masuk dalam perguruan tinggi negri tersebut perupakan peluang pasar pagi para elit kampus Ujian masuk atau UM pada perguruan tinggi negri mempunyai sarat mutlak bahwa calon mahasiswa yang ingin masuk Perguruan tinggi tersebut diwajibkan untuk menyumbang, dan yang ironisnya lagi yang menjadi standar diterimanya calon mahasiswa di lihat dari seberapa besar sumbanganya bukan pada kualitas calon mahasiswa. Maka wajar saja jika penulis menyebutnya itu sebuah proyek tahunan institusi perguruan tinggi negri, karena persaingan jumlah sumbangan yang diberikan dari calon mahasiswa akan menguntungkan para elit kampus saja. Dengan demikian calon mahasiswa yang tidak punya uang tidak dapat kuliah di perguruan tinggi negri walaupun secara kualitas ia lebih unggul dibandingkan calon yang memberikan sumbangan besar, alhasil dia tidak dapat melanjutkan studinya karena lagi-lagi tidak dapat membayar biaya pendidikan yang terlalu mahal. Sistem yang dibangun oleh kapitalisme pada dasarnya dibangun dengan prinsip persaingan yang didalamnya mempunyai kehendak untuk menguasai dan mendominasi.

Dari kedua fenomena diatas jelas bahwa pendidikan saat ini sudah dijadikan ajang bisnis untuk memperoleh keuntungan. Kemudian yang menjadi pertanyaan kita adalah apa arti dari pasal 31 UUD 1945 tersebut jika ternyata realitas yang terjadi dalam dunia pendidikan hanya dapat dinikmati oleh “sikaya” saja yang mampu untuk membayar biaya pendidikan? lalu dimanakah hak kita sebagai warga Negara dalam masalah pendidikan?  Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan diatas perlu perenungan, pengkajian dan pemahaman bersama tentang wacana-wacana pendidikan yang menurut penulis harus!

Rabu, 04 Mei 2011

RELEVANSI MATEMATIKA DALAM KEHIDUPAN

Sudah menjadi fakta bahwa ilmu matematika memiliki peranan penting dalam kemajuan sains dan teknologi. Hal ini terlihat dari berbagai teknologi modern dirancang dengan perhitungan matematis, sebagai upaya mendapatkan system, desain dan metode dalam menciptakan sebuah teknologi. Belum lagi jika kita lihat kurikulum pendidikan yang dikategorikan sebagai pendidikan eksata seperti teknik, kedokteran, pertanian dan sebagainya, pasti mempunyai materi dasar yang mengasah logika matematika. Dengan demikian jelas bahwa salah satu pendukung dalam penciptaan teknologi adalah penguasaan terhadap ilmu matematika.

Akan tetapi ironisnya matematika termasuk pelajaran yang banyak tidak disukai oleh kebanyakan siswa maupun mahasiswa. matematika seolah-olah momok menakutkan yang kalau bisa ingin dihindari, tidak sedikit mengatakan bahwa matematika membuat pusing dan stres. Pandangan seperti inilah yang kemudian menjadi mitos di masyarakat bahwa matematika hanya membuat pusing dan stress, jika dalam masyarakat sudah tertanam mitos seperti ini bagaimana dengan perkembangan teknologi yang harus diciptakan melalui proses perhitungan-perhitungan secara matematis?.

Pada dasarnya semua orang dilahirkan dengan membawa bakat matematika pada taraf tertentu. Dengan demikian berarti bahwa setiap orang mempunyai kemampuan untuk mempelajari dan menggunakan matematika, paling tidak dalam kehidupan sehari-hari. Seperti misalnya jika kita ingin mengukur atau menghitung sesuatu benda, kita pasti menggunakan logika matematika. Melaui pendidikan formal (SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi) kemampuan ini dikembangkan dan diasah dengan mempelajari bidang-bidang lain dari matematika seperti Aritmatika, Aljabar, Kalkulus, Geometri dan lain sebagainya sehingga dengan belajar matematika seseorang akan sedikit banyak akan terbentuk orang yang mampu berfikir logis, sistematis dan objektif. Kemampuan seperti ini sangat dibutuhkan bagi para ilmuwan. 

Matematika Murni dan Terapan

Sebelum tahun 1960-an matematika dibedakan menjadi dua yaitu, pertama : matematika murni yang dianggap sebagai ratu (Queen) dari sains yang hidup diatas menara gading atau tidak mengenal ilmu lain karena meng-abstraksikan diri. Kemudian yang kedua : matematika terapan yang berperan sebagai pelayan bagi ilmu-ilmu lain (B.Susanto. 2004).

Akan tetapi sejalan perkembagan jaman, matematika murni hidup karena tantangan dari ilmu lain yang membutuhkannya. Sehingga keterkaitan antara ilmu matematika murni dan ilmu matematika terapan lahir dalam wajah baru seperti biokimia, agroekonomi, ekonometri, psikometri atau bidang ilmu psikologi yang sarat dengan metode kuantitatif dalam statistika, kimia komputasional dan sebagainya. Semua ditopang berdasarkan model matematis yang kuat.

Saling keterkaitan ini juga timbul diantara bidang-bidang matematika termasuk ilmu computer, misalnya geometri fractal (kerjasama ilmu geometri transformasi, analisis dan ilmu computer dan lain sebagainya.

Aplikasi Matematika dalam Kehidupan
  
Setiap hari sebenarnya kita tidak terlepas dari perhitungan-perhitungan matematis, akan tetapi secara tidak sadar kita jarang berfikir bahwa matematika selalu hadir dalam keseharian kita. untuk mengawali pengenalan aplikasi matematika, marilah kita amati keadaan disekitar kita ! apakah ada matematika disana? Ketika kita duduk di sebuah kursi yang berkaki yang lantainya bergelombang mungkin tidak akan stabil, akan tetapi jika kita duduk kursi berkaki tiga akan stabil meskipun lantainya bergelombang. Mengapa ? salah satu aksioma geometri Euclides berbunyi “ melalui tiga titik yang tidak segaris dapat dibuat satu bidang”, hal inilah yang dibahas dalam matematika bahwa jika kita ambil empat titik sembarang, tidak ada jaminan keempatnya akan sebidang. Dari metode matematis tersebut wajar jika kursi yang berkaki empat tidak akan stabil pada tanah yang bergelombang.

Perlu kita cermati juga pada saat kita mencari jejak (permainan dalam pramuka), yaitu pada saat kita berhenti ditepi jalan setapak dan melihat ada tiga tumpukan batu dan sepotong ranting terjepit diantara batu tersebut. pasti kita akan tanggap dan berbelok menuju arah yang ditunjukan rantng sejauh sejauh 300 meter (sesuai dengan kesepakatan dalam pramuka). Salah satu contoh ini merupakan cara dalam system kordinat kutub untuk menentukan letak titik dalam bidang pada matematika. Penggunaan system kordinat kutub ini juga dapat kita jumpai dalam system radar.

Itulah mungkin contoh sederhana bahwa matematika selalu hadir dalam keseharian kita. dan semoga dari contoh diatas kita dapat mengenal terapan matematika disekitar kita secara luas pada ilmu terapan matematika yang lain seperti fisika, teknik, kimia dan biologi yang sudah lama kita kenal.

Jumat, 04 Maret 2011

PSIKOANALISIS : SEBUAH PENGANTAR

I.        Pendahuluan

Psikoanalisis dalam pengertian secara harfiah adalah ilmu yang mengurai tentang “diri” manusia[1], dan merupakan aliran dari psikologi modern, bapak pendirinya yaitu Sigmund Freud. Gagasan tentang diri menurut kaum humanis barat di definisikan dengan beroperasinya kesadaran (seperti berfikir, kehendak bebas, tindakan dan sebagainya) akan tetapi menurut Freud dengan psikoanalisisnya menyatakan bahwa konsep tentang diri (kesadaran) dideterminasi atau dipengaruhi oleh ketaksadaran dan berbagai dorongan dan hasratnya sehingga ia membagi dua wilayah kesadaran dan ketaksadaran itu menjadi sesuatu yang radikal.
Gagasan-gagasan Freud inilah yang kemundian berkembang menjadi suatu aliran dalam psikologi modern, sehingga di Prancis Jaques Lacan yang berprofesi sebagai psikoanalisis pada tahun 1950 mengembangkan pandangan Psikoanalisisnya dengan didasarkan pada berbagai gagasan yang diartikulasikan dalam antropologi dan linguistic strukturalis. Lacan mencampur adukan teori Freud dan Saussure (Linguistik) bahkan Lacan juga dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran filsafat Heidegger, Levi Strauss dan Derrida. Dari hasil “perenungan” Lacan tentang Psikoanalisis dia menginterpretasikan Freud menggunakan teori strukturalis dan postrukturalis, Lacan kemudian mengalihkan psikoanalisis yang secara hakikatnya bersifat humanis menjadi menjadi teori atau filsafat psikoanalisis.
Psikoanalisis Lacanian mempunyai dua garis besar yaitu fenomenologi dan strukturalisme. Jika dalam fenomenologi menekankan pada konsep diri yang bebas, kemudian strukturalisme menekankan pada determinisme bahasa. Lacan menggunakan strukturalisme tetapi tidak pernah “menyangkal subjek”, oleh karena itu konsep diri tidak terelakkan dari psikoanalisis lacanian, sementara strukturalisme menjadi cara pembahasannya.

II.      Kesadaran dan Ketaksadaran

Jika Freud mengatakan bahwa “dimana ada id disitu ada sang Aku (ego)” yang berarti id yang dalam hal ini ketaksadaran akan digantikan dengan sang Aku (kesadaran), menurut Lacan itu mustahil, karena bagi lacan sang Aku (ego) hanyalah ilusi, manifestasi dari ketaksadaran itu sendiri, sehingga lacan menegaskan bahwa ketaksadaran adalah bagian dari seluruh kehidupan.
Inti dari konsepsi tentang diri manusia menurut pandangan Lacan adalah gagasan bahwa ketaksadaran yang mengatur seluruh factor eksistensi manusia secara tersetruktur seperti bahasa, dia melandaskan pandangan ini pada uraian Freud tentang dua mekanisme utama dari berbagai proses ketaksadaran, kondensasi dan pemindahan, sehingga menurut Lacan pada hakekatnya kedua mekanisme ini merupakan fenomena bahasa.
Hal diatas dibuktikan oleh Lacan bahwa analisis mimpi Freud dan kebanyakan analisisnya yang merupakan symbol dari ketaksadaran bergantung pada permainan kata-kata, asosiasi dan bersifat verbal, dengan demikian Lacan menyimpulkan bahwa isi dari ketaksadaran sepenuhnya sadar akan bahasa dan secara khusus terdiri dari struktur bahasa. Lacan menyebutkan hal tersebut dengan Transalasi Linguistik atas gambaran Freud akan ketaksadaran sebagai wilayah chaotic[2] yang secara terus-menerus menggeser dorongan dan hasrat.

III.    Mekanisme Pembentukan “Diri”
Dalam teori Freud tentang tahap perkembangan psikoseksual mengatakan terdapat tiga tahapan polimorfosa pada bayi yaitu oral, anal, dan phallic, inilah kompleks Oedipus dan konsep kastrasi yang mengahiri perversitas polimorfosa dan menciptakan mahluk “dewasa”.
Akan tetapi Lacan menciptakan kategori berbeda dengan Freud untuk menjelaskan lintasan atau tahapan dari bayi menuju dewasa. Dia membahas tentang tiga konsep yaitu kebutuhan (need), permintaan (demand), dan hasrat (desire) yang berhubungan dengan tiga fase perkembangan atau tiga ranah dimana manusia berkembang, yaitu ;
1.      Fase Pra-Oedipal
Dalam fase ini, subjek (bayi) sama sekali belum mengenal batasan ego atau dirinya. Ia tak menyadari batasan antara tubuh ibunya dengan tubuhnya sendiri. Bayi dan ibu masih merupakan kesatuan sehingga identifikasi belum terjadi pada fase ini. Menurut Lacan bayi yang belum memiliki pemisahan ini hanya memiliki satu kebutuhan yang dapat dipuaskan dan tidak membuat perbedaan antara dirinya dengan objek yang memuaskan kebutuhannya sehingga eksis diwilayah Yang Real.
2.      Fase cermin atau tatanan Imajiner
Fase ini merupakan bentuk praverbal yang logikanya bersifat visual. Fase ini terjadi pada bayi berusia 6 bualan dan merupakan fase paling krusial untuk identifikasi perkembangan ego. Misalkan jika kita anak kecil memperhatikan dirinya sendiri dalam sebuah cermin[3]. Ketika anak tersebut bercermin dirinya yang ada dicermin tersebut bersifat imajiner, karena yang ada didalam cermin tersebut hanya merupakan image. Saat itulah si anak mulai belajar untuk menciptakan konstruksi dirinya. Kemudian ketika dewasa dia akan terus membuat identifikasi imajiner dengan objek-objek yang ditemuinya. Menurut Lacan ini merupakan fase normal dalam perkembangan diri.
3.      Fase Oedipal atau Tatanan Simbolik
Fase ini terjadi ketika si anak harus berpisah dengan ibunya atau harus mengalami kastrasi. Anak tak lagi melihat dirinya satu kesatuan dengan ibunya tetapi memandang ibunya sebagai Liyan. Hubungan si ibu dengan si anak ini juga diperparah oleh kehadiran ayah, ayah disini bersifat metafora. Anak harus kehilangan objek hasratnya, yaitu ibu karena ia harus menerima kehadiran “ayah simbolik”. Anak harus mengikuti apa yang dikehendaki oleh ibunya, yaitu menyerap bahasa, penanda-penanda. Dengan demikian anak harus menerima mekanisme imaji diri lain yang kerap bersifat reppresif (super ego),yang fungsinya menerima dan mencerna image diluar diri, berupa representasi dari berbagai versi hukum, aturan, konvensi, adat, tabu dan lain-lain yang diidentifikasikan dengan dirinya sendiri, inilah yang disebut dengan “symbol ayah”. Secara singkat proses ini dilahirkannya kembali anak-anak dalam bahasa. Proses pembentukan ini di transliterasikan Lacan ke dalam fenomena linguistic yang ia pandang sebagai hasil penemuan Atas-Nama-Ayah. Lacan menganggap masa belajar anak telah mengalienasi psyche (jiwa) tetapi sadar tidak mungkin kembali ketahap jiwa praverbal, subjek ditentukan oleh bahasa.
Dari ketiga tahap tersebut diatas terdapat satu lagi tatanan selain imajiner dan simbolik, yaitu Yang Real. Yang Real adalah realitas yang tidak pernah kita ketahui-kenyataan ini berada diluar bahasa, suatu realitas yang diasumsikan karena tidak pernah kita ketahui. Struktur ini adalah struktur yang paling problematic dibandingkan dengan dua struktur lain, karena tidak pernah dialami langsung, melainkan melalui mediasi dua struktur yang lain. Singkatnya tatanan yang real adalah realitas, atau apa yang dipersepsi sebagai yang nyata merupakan apa yang mutlak menolak proses simbolisasi.

IV.   Relasi Hasrat dan Ego dalam Psikoanalisis Lacanian

Sigmund Freud menelusuri genesis hasrat dari pengalaman badani antara bayi dan ibunya, karena bayi mengalami ibunya sebagai satu kesatuan sehingga belum ada pembedaan antara intra dan ekstra, tubuhnya dan tubuh sang ibu. Kebutuhan alami seperti menyusui merupakan kebutuhan nutrisi yang menurut Freud akan menjelma menjadi hasrat seksual, hal itu dijelaskan oleh Freud pada saat sang bayi yang menghisap payudara sang ibu, setelah kebutuhan nutrisinya terpenuhi, muncul sebentuk kenikmatan dari tindak menghisap itu sendiri.

Akan tetapi keutuhan imajiner retak saat prinsip realitas mendobrak masuk kedalam jantung pertahanan hasrat, dengan demikian prinsip kenikmatan akhirnya berhadapan dengan keadaan luar. Dengan Egolah kemudian hasrat tak sadar tersebut di selaraskan dengan realitas, sehingga Freud menyimpulkan bahwa hasrat dibawah control rasionalitas ego.

Dari pendapat Freud tentang hasrat tersebut membuat pertanyaan bagi Lacan bahwa kenapa kerapuhan ego terlalu di agung-agungkan oleh para penganut psikologi ego seperti Freud. Lacan menolak ego sebagai sumber kekuatan psikologis, bahkan menekan ketergantungan ego pada hasrat yang menginfiltrasikannya dari medan social. Menurut Lacan Ego tidak dapat membedakan hasratnya dan hasrat orang lain serta cendrung kehilangan dirinya dalam citraan.

Individu menurut Lacan tidak hanya kehilangan kejernihan atas perbedaannya dengan yang lain, tetapi juga mencampur adukkan antara hasratnya dengan hasrat orang lain. Dengan demikian hasrat untuk memiliki identitas mendorong ego untuk meyakini dirinya sebagai objek, sehingga keyakinan ini membuatnya melihat dirinya sebagai objek dari hasrat orang lain atau menhasrati dirinya dengan hasrat yang sama. Sederhananya menurut Lacan jika mencintai orang lain sesungguhnya adalah tindak mental yang narsistik begitupun sebaliknya.

Dari refleksi inilah mendorong para pengikut neofreudian seperti Rene Girard yang memperkenalkan konsepnya hipotesis mimesis[4]. Dua konklusi Girard tentang hasrat dan mimesis, pertama: hasrat tidak di validasi oleh property yang terkandung dalam objek yang dihasrat. Kedua : hasrat sesungguhnya didorong oleh rasa kurang yang perlu dipenuhi. Seorang menghasrati objek bukan kualitas objek itu sendiri melainkan karena orang lain menghasrati objek itu dan mendapatkan keutuhan ontologis darinya. Kita menginginkan mobil tetangga bukan karena kualitas mobil itu, bukan juga kecintaan sang tetangga pada mobil itu melainkan mobil itu memberikan sense of identity pada sang tetangga.

dari kritik psikoanalisis-struktural Jaques Lacan menghasilkan tiga kesimpulan seputar kodrat hasrat pertama ;Hasrat adalah sesuatu yang melampaui biologi, ia bekerja saat kekurangan biologis tercukupi. Kedua Hasrat jauh dari ego cogito, ia adalah syarat yang memungkinkan formasi ego itu sendiri. Ketiga Hasrat dipacu oleh kodrat manusia sebagai mahluk yang berkekurangan secara eksistensial.

Kekurangan eksistensial ini memicu dua jenis hasrat yaitu pertama : Hasrat untuk memiliki (identitas, hasrat ini berkerja pada pengalaman imajiner dan simbolik. Ranah pengalaman yang memberi rasa keutuhan pada kekurangan primordial yang selalu membayangi sang subjek. Kedua: adalah hasrat untuk menjadi, hasrat ini bekerja pada ranah ranah pengalaman Yang Real, Praideologis dan non makana. Ia adalah potensi resistensi yang selalu mengganjal hasrat memiliki dan menunaikan hasratnya yang berujung pada simbolisasi.

V.     Ketaksadaran Dan Bahasa

Menurut Lacan ketaksadaran terstruktur seperti bahasa, karena mekanismenya seperti serupa dengan metafora dan metonimia[5], proses munculnya ketaksadaran dalam pandangan Lacan berbeda dengan Freud. Jika Freud berpandangan bahwa ketaksadaran sudah eksis sebelum bahasa memberikan pengaruhnya. Sedangkan Lacan berpandangan bahwa ketaksadaran terbentuk bersamaan dengan bahasa.

Ketika kata-kata gagal dalam memenuhi janjinya untuk memberikan pemuasan, maka ketaksadaran menyembul keluar menyajikan penampilannya dalam ketakserasian antara bahasa dan hasrat. Hal ini lah yang disimpulkan oleh Lacan bahwa ketaksadaran merupakan hasil dari penstrukturan hasrat oleh bahasa, seolah ketaksadaran tersebut bekerja seperti bahasa yang terdiri dari penanda dan pertanda. Hal itulah yang menjadi mekanisme didalam diri, bahwa bukan semata manusialah yang berkata, tetapi didalam manusialah penanda-penanda berkata.

Dalam hal ini hasrat mempunyai peran penting karena telah memberikan gambaran pada ketaksadaran. Gambaran tersebut mempunyai struktur yang terdiri dari penanda dan pertanda, sehingga hasrat itu sendiri pada dasarnya merupakan efek yang terus-menerus yang diakibatkan artikulasi simbolik, bukan merupakan nafsu tetapi secara esensial bersifat eksentrik dan tidak pernah puas. Inilah alas an Lacan menghubungkan hasrat bukan objek yang akan memuaskan tetapi dengan objek yang menyebabkannya.
Sekedar contoh dari apa yang dijelaskan Lacan diatas adalah mimpi, mimpi merupakan salah satu jalan ketaksadaran tersebut, hal ini dikuatkan oleh Eagleton yang menyatakan mimpi merupakan pemenuhan simbolik atas berbagai keinginan tak sadar dan dibalut dalam bentuk simbolik. Dalam hal ini ketaksadaran menutupi, menghaluskan dan menyimpangkan makna-makna, sehingga mimpi kita bisa menjadi teks-teks simbolik[6].



[1] Kamus Ilmiah Populer, Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry.

[2] Wilayah chaotic adalah ketidakteraturan.

[3] Film kartun tentang Harold merupakan contoh yang memudahkan pengambaran fase cermin ini. Ceritanya tentang Harold yang masih balita, sebelum tidur Harold “berjalan-jalan” melalui coretan pensil ajaibnya. Setiap coretan pensilnya misalnya ketika membentuk sebuah jendela, maka jendela tersebut menjadi sungguhan sehingga Harold bias keluar dari kamarnya melalui jendela tersebut. Kemudian Harold menyukai bulan dan iapun menggambar bulan. Karena cahaya bulan tersebut bayangannya muncul tepat didinding di hadapannya, Harold belum mengenal konsep bayangan jadi ia terheran-heran memandangnya. Ia malah menyangka bahwa bayangan tersebut kawannya. Tetapi kebingungan kembali menghadangnya karena apapun yang dilakuannya misalnya menggerakkan tubuh maka bayangan yang disangka kawannya itu selalu sama persis mengikutinya. Dengan berbagai cara Harold berusaha membuktikan mengapa “kawannya” tersebut selalu meniru gerak-geriknya.

[4] Menurut hipotesis ini kendali total ego atas hasrat adalah ilusi, karena manusia adalah mahluk yang tidak tahu apa yang harus dihasrati dan oleh karenannya berpaling ke orang lain untuk menentukan pilihan. Hasrat tidak muncul dari imperative ego, melainkan peniruan hasrat orang lain.

[5] Menurut tokoh formalis Rusia Roman Jakobson menerangkan bahwa terdapat dua operasi utama dalam bahasa manusia yaitu metafora dan metonomia. Metafora adalah subtitusi satu tanda lainya karena adanya kesamaan sedangkan metonomia adalah asosiasi satu tanda oleh tanda lainnya.

[6] Jaques Lacan Diskursus dan Perubahan social, pengantar kritik budaya psikoanalisis. Hal.303.

Selasa, 01 Februari 2011

AGAMA DALAM BINGKAI SEJARAH


Fakta sejarah mengungkapan bahwa sebagian besar peradaban dunia yang tumbuh dan berkembang di muka bumi ini pada awalnya dimotivasi oleh sebuah keyakinan agama. Hal ini terbukti dari monumen-monumen bersejarah seperti piramid dimesir, candi borobudur di jawa tengah, ka’bah di mekah dan banyak lagi bangunan-bangunan bersejarah yang menandakan bahwa dahulu terdapat suatu peradaban besar yang di topang keras oleh keyakinan agama.
Agama Islam, Yahudi dan Kristen seperti yang kita ketahui bersama adalah agama yang diyakini berasal dari langit atau sering kita sebut sebagai agama-agama samawi. Pengertian secara sederhana agama samawi adalah agama yang memiliki wahyu dari para nabi-Nya. Seperti halnya agama Islam yang secara geneologi diawali ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu Allah melalui perantara malaikat Jibril di Gua Hira pada abad ke 7 Masehi. Pewahyuan itu berlangsung secara terus-menerus selama 23 tahun yang kemudian wahyu-wahyu itu di kumpulkan dan di abadikan dalam bentuk teks yang bernama Al-Qur’an yang merupakan kitab suci agama Islam.
Wahyu Al-Qur’an yang berbahasa arab mengisyaratkan bahwa Allah secara implisit telah memasuki perantaraan sejarah dan terdapat kaidah-kaidah sejarah didalamnya yang bersifat kultural-empiris, sehingga dengan demikian bahwa bahasa arab ini memiliki sifat patrikular, namun pesannya bersifat universal karena ajaran Islam ditujukan  kepada seluruh umat manusia sebagai agama yang rahmatan li al-alamin. Oleh karena itu sifat lokalitas yang muncul pada ranah bahasa dan budaya arab  sebaiknya dipahami sebagai bukti dan wadah yang bersifat instrumental-historis. Pesannya yang universal dan fundamental harus selalu digali dan di formulasikan kedalam ranah bahasa dan budaya non-arab, sehingga eksklusivisme bahasa dan budaya arab bukan sebagai penghalang penyebaran islam, akan tetapi sebagai penyimpan dan penjaga kemurnian ajaran Islam.
Dengan pemahaman diatas maka ketika seseorang melakukan penerjemahan dan penafsiran dalam memahami sebuah teks Al-Qur’an, maka secara tidak langsung yang bersangkutan juga melakukan penafsiran dan menulis ulang sebuah teks, hanya saja pada level mental (logika). Hal ini dikarenakan teks Al-Qur’an hanyalah salah satu aspek dari realitas kehidupan beragama, pemahaman agama yang hanya menyandarkan pada otoritas teks tanpa memahami dan mengapresiasikan konteks psikologis, social dan demografis  dimana teks Al-Qur’an itu dilahirkan maka, dimensi universalnya akan terkalahkan oleh dimensi tekstualnya sehingga pemahamannya terhadap Islam lebih bersifat patrikularistik.
Ada tiga dimensi dalam memahami kehidupan beragama selain dari pandangan kita terhadap kajian teks, Pertama : dimensi personal yaitu agama yang memberikan acuan hidup seseorang secara pribadi untuk memberikan makna bagi setiap  tindakan dan peristiwa baik pada saat suka maupun duka, untuk mengarahkan pada makna dan tujuan hidup yang sebenarnya. Kedua : dimensi cultural, mengingat suatu agama tumbuh dan berkembang melalui dinamika kultur, sehingga dimensi cultural akan mewarnai seseorang atau masyarakat untuk mengekspresikan nilai-nilai keagamaannya. Ketiga : dimensi ultima, yang merupakan dumensi yang mengacu pada sesuatu yang absolute, kesadaran ini akan membedakan tindakan seseorang layak atau tidaknya secara religious dari sebuah ekspresi cultural.
Dengan demikian penting kiranya kita sadari bahwa dalam studi keagamaan tidak cukup hanya tertuju pada studi terhadap teks-teks keagamaan saja akan tetapi lebih dari itu yaitu kajian budaya atau tradisi, sehingga mau tidak mau harus melibatkan metodologi ilmu-ilmu social lainnya. Dalam Islam terdapat ajaran baku yang diyakini sama, namun pada level penafsiran dan tradisi akan ditemukan keberagaman, bahkan keberagaman ini telah melembaga kedalam sebuah mazhab baik dalam filsafat, fiqh, politik, maupun cabang ilmu ke-Islaman lainnya. Salah satu kekuatan yang mengikat keberagaman tersebut adalah pesan tauhid dan keontentikan teks.
Berbicara Tauhid dalam agama Islam tidak terlepas dari kalimat persaksian (syahadat), format syahadat yang begitu pendek dan sederhana akan tetapi dampaknya sangatlah luar biasa, karena syahadat adalah sebuah pernyataan persaksian dan manifesto Tahuid yang secara sadar akan mempengaruhi cara berfikir dan cara hidup seseorang dalam memandang dunianya. Ajaran Islam, sikap percaya (iman) selalu dikaitkan dengan sikap kritis sehingga kalimat syahadat-nya sangatlah filosofis. Pertama kita diajak menegaskan “tidak ada tuhan” yang patut kita sembah, kita diajak untuk berempati dengan faham ateisme[1] dan kemudian kita dituntut membangun argumentasi rasional dengan bimbingan wahyu (Al-Qur’an) untuk sampai menemukan Tuhan yang patut disembah. “Tiada tuhan kecuali Tuhan” yang sebenarnya yaitu Allah SWT. Dengan demikian iman merupakan prodak nalar dan hati yang diterangi oleh wahyu atau bisa juga dibalik bahwa iman adalah ajaran wahyu yang diterima secara rasional.
Selain itu sosok rasul Muhammad sang pembawa ajaran adalah figur sejarah yang transparan, perjalanan hidupnya tidak di tutupi oleh misteri dan spekulasi. Secara social-historis salah satu prestasi mencolok dari Muhammad adalah kemampuannya menciptakan kohesi dari berbagai suku yang sedemikian beragam dari Madinah ke Spanyol dan Turki. Konsep tauhid yang sederhana dan mudah dicerna serta karakter keterbukaan Islam untuk menerima symbol dan elemen kultur merupakan sebuah media ekspresi dan penyangga pesan dan eksistensi Islam.
Puncak-puncak kejayaan Islam pada masa lalu di sandarkan pada prinsip dan semangat tauhid sehingga watak peradaban Islam pada dasarnya bersifat inklusif, toleran dan keterbukaan terhadap inovasi dan pengembangan intelektual keislaman, karena Islam dalam hal ini sangat menghormati penalaran dan eksplorasi ilmiah. Dengan karakter tersebut secara menakjubkan Islam telah terbukti mampu menyulap wilayah Arabia yang semula gersang menjadi mata air peradaban Islam yang tetap berkembang hingga sekarang. Bukti nyatanya dapat kita lihat betapa banyak ilmuan kelas dunia pada saat itu yang lahir dari inspirasi dunia Islam seperti Ibnu Khaldun, Ibnu Sina, Al Farabi mulla sadra dan yang lainnya. Mereka turut memberikan sumbangan besar dalam menghantarkan lahirnya ilmu pengetahuan dan teknologi modern barat saat ini.
Namun sangat disayangkan sejarah Islam hari ini hanyalah tinggal sejarah sehingga muncul Pertanyaan di benak umat Islam hari ini, mengapa hari ini islam gagal dalam menghantarkan lahirnya ilmu pengetahuan dan teknologi modern sebagaimana yang berkembang di Eropa barat? Salah satu penyebabnya adalah umat Islam tidak mampu membangun institusi riset yang besar dan independent yang mengabdi pada ilmu terapan. Hal ini dikarenakan kuatnya peradaban teks dan kekuasaan ulama-ulama yang lebih mengedepankan ritual dan kekuasaan ketimbang membangun peradaban, sehingga mereka telah menyia-nyiakan aset intelektual yang luar biasa yang pernah dimiliki oleh dunia Islam. Misalnya saja teknologi sederhana seperti kompas, ketika kompas berada di tangan ulama hanya digunakan untuk menentukan arah kiblat, sedangkan ketika kompas ditangan orang-orang Eropa digunakam untuk berani berlayar keliling dunia mengarungi lautan. Kemudian ilmu falak atau ilmu astronomi, jika di Islam ilmu falak hanya digunakan ulama untuk menentukan kapan datangnya Ramadan, sementara dibarat ilmu ini di gunakan sebagai modal untuk melakukan petualangan luar angkasa.
Karena sebab diataslah kemudian Islam mengalami stagnasi dalam membangun peradaban modern bahkan hari ini umat Islam jauh tertinggal dari barat secara ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian maka secara tidak langsung umat islam telah menelantarkan proyek besar islam untuk mewujudkan janjinya sebagai ummat yang terbaik dan unggul dalam peradaban seperti yang telah dijelaskan dalam  Al-Qur’an surat 3 : 150 yang menyatakan bahwa “engkau telah menjadi umat terbaik yang telah di munculkan untuk umat manusia, seraya menganjurkan kebaikan dan melarang keburukan dan yang percaya pada Tuhan
Selanjutnya Konsep hablumminallah dan hablumminannas mengisyaratkan terdapat dua ajakan dari ajaran Islam yang sangat fundamental yang pertama yaitu Hablumminallah (hubungan manusia dengan tuhan) yang mengajak manusia untuk melakukan trasnsendensi[2] diri untuk menemukan sesuatu “yang lebih” yang berada diluar realitas historis-empiris yaitu Tuhan. Dan yang kedua adalah Hablumminnannas (hubungan manusia dengan manusia) yaitu ajakan atau doktrin tentang tanggung jawab social untuk senantiasa membantu orang lain dalam rangka menciptakan masyarakat yang sejahtera.
Demikianlah wahyu Ilahi memanggil nurani dan penalaran kritis kita sebagai manusia untuk bekerja memberikan pencerahan kepada masyarakat sehingga contoh sejarah yang sesungguhnya telah dipaparkan dan di amanahkan Tuhan pada manusia. Jika kita cermati teks Al-Qur’an maka Tuhan berulang-ulang kali menggunakan kata “Kami” ketika menjelaskan proses perubahan social yang oleh para ahli tafsir dipahami bahwa Tuhan melibatkan manusia dalam mendesain arah sejarah hamba-hamba-Nya. Dengan demikian muncul pertanyaan kemanakah arah sejarah dan dimana peran agama? Jawabannya lagi-lagi dikembalikan pada manusia sendiri karena instansi dan pengguna jasa terakhir agama dan peradaban adalah manusia itu sendiri. Tuhan telah menetapkan takdir-takdir Nya, yaitu formula sebab-akibat yang berlaku pada prilaku alam maupun kehidupan manusia dan dengan modal kebebasan yang dimiliki manusia tampil mendesain dan mengendalikan bekerjanya takdir Tuhan.


[1]  Faham Ateisme adalah sebuah faham yang tidak mempercayai adanya Tuhan.
[2]  Transendensi adalah kemampuan menerobos keluar dari yang membelenggu kefanaan lalu mendekat dan berserah diri (islam) pada penciptan-Nya (Tuhan)